Selasa, 28 Oktober 2008

ampun



Sahadat

Kepala ini memeluk beribu cinta dan membuangnya tanpa air mata. Sebagian otak yang tumbuh mereguk dahaga tanpa pernah mengisi raga dengan do’a. Darah yang hidup mengais surga tanpa mengingat dosa. Mimpi-mimpi berjalan menebar asap dan api diladang cinta. Lautan nista menumbuhi dusta mengalir ke ujung serakah. Hidup mulai terkapar menatap langkah anak durjana

Ketika gema takbir mengetuk dinding syawal, menimbun subuh dengan sahadat yang mulai koyak. Gaung iqstifar mengharap matahari membakar dosa untuk jiwa yang luka. Anpuni aku tuhan.

1 Syawal 1429 H

Selasa, 23 September 2008

segera




Pulang

Suaramu mulai meraba pelan dinding-dinding anak telingaku. Tetes kalimat berjatuhan begitu lembut mengalir mendekati titik-titik perasaan yang lama hilang. Paragraf-paragraf tersusun latah menari-nari diujung lidah mulut mungilmu. Sedikit rengekmu membuat anganku menghitung waktu yang tersisa. Susah kutiup kata yang keluar agar kau tak sedih dengan penantian ini. Susunannya pun sudah menyamai syair pujangga tua yang hidup dengan beribu cinta. Jari-jari kecil dan halus seperti meraba lembut ujung-ujung kulit rinduku. Matamu yang hitam bening melayangkan binar-binar ceria disekeliling otak kecilku. Igatanku melintas pada tawamu yang renyah dan membuat alismu selalu sedikit menekan bundar matamu, rona merah juga bermain-main disekitar lesung pipitmu.
Gelora ini mulai melanda sudut-sudut takbir cinta yang kunati. Rayuan yang kau ulang-ulang tentang petani yang pergi, sawah yang retak, semak yang hilang, tebu yang patah, ladang yang kering, dan angin yang tak lagi bertiup memacu rencana tidurku. Ingin rasanya kuntempuh gelap bumi, ingin rasanya kudaki hitam pelangi, ingin rasanya kubakar mentari untuk segera membuka pagi dan membawa segera pulang hati ini.


Padang Sarai, 22 Sept 2008

Senin, 15 September 2008

tak pasti


Dongeng untuk peladang
Kupinjam dendang untuk dongeng peladang. Begitu risih keluar dipunggung bukit nantikan hujan dari mata. Kebun yang sujud menunggu ladang menuai gerimis. Alang-alang mendekap petani dengan senja yang merah. Sawah lelah menanam kelabu yang singah. Pagar-pagar menutup dahaga semak-semak yang mencakar. Begitu resah menunggu sinar di ufuk mentari. Wajah langit miris ditiup mulut halilintar. Membuat mekar lumpuh dalam debu.


Kerbau letih membajak siang dengan luka sembilu. Mimpi terang hilang direnggut gelap gemuruh. Burung-burung menangisi lapar ditirai bayang orang-orang ladang, pulang ini hanya menutup janji, sarang yang ditinggal menunggu panas telapak dan lumpur yang hinggap. Hasrat terbawa dalam pagi sedikit sedih dirantai napsu. Lusuh menuai panen bibit surga yang tak pasti.




Gunuang Malintang, 13 Sept 2008


Senin, 18 Agustus 2008

murka



Penjelasan


Mungkin salah meraup duka yang jatuh dikelopak hati.
Panas terbuang hari membuat rasa memilih terik nafsu.
Dipunggung harap kaki-kaki menginjak pundak rindu.
Sebagian hasrat mengais cinta yang lupa perihnya waktu.
Mata-mata mengintip haru, selingkuhi nikmat kesempatan.
Kata-kata yang tersenyum tertimbun sorak dalam ruang bisu.

Diam memberi nikmat menganti waktu kosong seperti ritual tersebunyi.
Nafsu terbuang mulai tertanam dirahim usia yang mulai runtuh.
Gejolak yang tertindih ditelan jarak di ujung gelisah.
Takdir menutup murka membuat penjelasan ini sedikit aneh.


banyuasin, agus 2008

Senin, 11 Agustus 2008

ampera



Do'a

Senandung banyu merayu biduk kehulu Musi, kerudung perahupun menari dipucuk rawa. Hamparan hijau tertutup asap cerobong tongkang yang memacu jiwa, sibuk memagar tepi dengan desir halimun. Kaki-kaki dermaga mengendus riak dan sunyi angir semilir, menutup kelopak mata pemancing dipinggir dermaga tua.

Malam yang kaku ditemani lampu warna-warni, menerangi letih penjual dan suara pengamen dari pagi hari. Ketika langit menutup redup, impian budak mengharap doa ampera.

Palembang, 7 Agustus 2008

Minggu, 03 Agustus 2008

merindu



Senja yang hilang

Riak air menampar dinding perahu yang berlumut menekuk dayung-dayung kelasa. Capung-capung merah mengintai topi dan ujung kail pemancing, sesekali kakinya mengais lembut air muara yang hangat habis dipeluk bukit. Ujung-ujung sunset menyisir daun kelapa yang menari ditiup angin. Anak-anak sungai letih berjalan mengorek dahaga kaki-kaki teluk.Sayap-sayap camar centil menyambar ombak merebut hati pelangi. Pasir menyelimuti sisa pantai tersentuh telapak pemadu cinta.

Deru mesin kapal tua memutus punggung dermaga, dengan perkasa menarik jaring-jaring lusuh nelayan. Wajah-wajah merahpun berputar-putar dilantai geladak, tangan-tangannya yang kekar melecut udara membelah sungai, gemiricik anak-anak air naik menyusupi pori-pori waktu.

Begitu senja dipeluk sungai merindu malam yang tak mungkin datang esok hari.



Muaro Kasang, 31 Juli 2008

Jumat, 01 Agustus 2008

masih



hitam

subuh meliuk sukma
siang melukis raga
sore menggores asa
malam mengukir do’a

tapi, tubuh ini masih hitam
Setelah malam, 25 Juli 2008