Senin, 10 Mei 2010

Terima kasih



Mama

Mama menyimpan kantuk untuk membuka subuh yang dingin
Wajahnya yang lembut bersinar disentuh wudhu
Akar-akar fajar menyambung do’a mama kepenjuru langit
Setiap katanya melantun lembut dibenak malaikat
Untuk menyambung hidup kami hari ini

Mentari yang cerah menghitung langkah mama
Sinarnya menggembuni jejak kaki yang melepuh
Perihnya terhapus debu harapan
Tiga dari kami ikut memburu jejak itu
Tiga yang lainnya masih bermimpi
Semoga semoga pinta mama tak jauh hari ini

Sore yang mendung menghimpit benak mama
Ujung-ujung gerimis seperti tak-kuat mendekatinya
Waktu yang tersisa tetap memeluk hidup kami
Jiwa-jiwa mungil terus bersandar didarahnya

Ma, kami tidak hanya melihat surga ditelapak kakimu
Tapi, disetiap keringat dan nafas mu

Payakumbuh, sekitar 1990

Jumat, 19 Maret 2010

pondok



Pondok kecilku dan perjalanan kematian

Pa, aku bikin pondok kecil dibelakang rumah. Aku ingin kita duduk di ujung sore membahas love is blue-nya paul mauriat dan dare to dream-nya yanni dengan sedikit hidangan teh. Hangat tubuh mu ketika memeluk tidurku yang dingin oleh gerimis malam. Sedikit yang kuingat tentang mu (pada Jakarta, 1983).

Lex, aku bikin pondok kecil dibelakang rumah. Aku ingin kita duduk di ujung sore membahas crazy love-nya rod steward dan the great pretender-nya freddie mercury dengan secangkir kopi dan sebatang rokok. Ujung rambutmu yang panjang selalu menimpa wajahku diatas skutermu. Kau mengantar dan menjemputku ke rumah teman mu, untuk kutinggalkan sedikit hasrat remajaku. Banyak yang ku ingat tentang kebaikanmu (pada Payakumbuh, 1991)

Joe, aku bikin pondok kecil dibelakang rumah. Aku ingin kita duduk di ujung sore membahas tear in heaven-nya eric clapton dan still got the blues-nya gerry moore, dengan selinting daun dari ujung pulau ini. Kita sering jalan melintasi gelapnya malam entah untuk apa. Kita tak pernah berhenti sampai tubuhku berdarah. Kita tidak pernah takut sampai tubuhmu hilang untuk beberapa saat. Banyak sekali yang kuingat tentangmu dan kenakalan kita. (pada Jakarta, 2009).

Aku masih memikirkan (akhir Maret, 2010) yang akan kita bahas dan aku hidangkan, ketika kita duduk bersama dipondok kecil belakan rumahku.


Taman Firdaus, E14

Jumat, 05 Maret 2010

semoga



...semoga ujian

Gemuruh pun terjadi, walau isyarat dari kilat sering menyambar hari-hari kami. Seperti nasehat hidup, kita harus jalani. Entah ini takdir, pesan atau ujian. Rasanya membakar mata hingga mengeluarkan panas. Panaspun membendung kantuk hingga menyambut subuh dengan gelisah. Ini mungkin sedikit lama untuk kalian.

Ingin kututup puisi ini, karena begitu rendahnya kehidupan ini. Sepertinya akar zaman mulai menginjak ubun-ubun. Kami tau Tuhan takkan mau menimpa kekuatan kami yang kecil ini. Walaupun tegar diwajah hampir membuka hati kami. Sabarlah Dek, tenanglah Nak, kita hadapi ini seperti duapuluh, sepuluh, atau setiap jengkal hidup ini. Dan kita belum mati.

Aku masih melihat senyum Mama, dan Papa di alam sana. Kita doakan dia, dia akan mendo’akan kita, dan kita berdo’a bersama-sama.

Nunang, 3 Maret 2010

Jumat, 05 Februari 2010

37



Tiga puluh tujuh

Berapa lagi masa yang kosong untuk jalan ini
Tiga puluh tujuh yang terlewati begitu cepat didapat
Semangatpun mulai letih dalam tubuh semua orang
Mungkin tidak semua yang bisa ditahan
Sedikit demi sedikit mendesak sisa umur
Sampai tak kuat lagi menginjak bumi

Warna pun mulai bertambah
Dan begitu banyak yang sia-sia
Keseimbangannya takut diukur
Ah..semoga saja berat yang baik
Walau itu bohong

Ketakutan memamandang kedepan
Seperti anak, rumah, sekolah, mungkin pergi
Simpan saja supaya kuat
Kuat pasti bisa membantu
Tapi dulu tak begitu takut,
oh itu mungkin masih kecil
Coba diajak berfikir

Ini mungkin cita-cita
Cita yang rindu hasil
Hasil yang dapat dipanen
Panen sampai tua
Tua pasti menjadi nyata
Nyata yang cepat…entah.

Umurku masih bertambah
Ini tidak bohong…

Singkarak, Januari 2010

Selasa, 26 Januari 2010

makam papa



Ziarah

Angin yang lembut, matahari yang redup dan senyum penjual bunga menopang getar-getar kakiku menujumu. Seperti tahun-tahun peziarahanku mata dan otakku begitu kenal bujur-bujur tanah yang semakin sempit dan berhimpit, seperti semrautnya kota ini. Kelopak melati yang hilang, tangkai-tangkainya yang legam, tetap kutabur diujung makam.

Pa, titip rindu dari menantu dan cucumu yang kini ada…


Jakarta, Des 2009

Kamis, 28 Mei 2009

nenek


Peladang

Nenekmu begitu kuat.
Ia bangun pagi untuk menyayat subuh dengan doa-doa dilangit.
Langkahnya selalu mengintai kebun-kebun berembun dan sunyi.
Mungkin ada bekas telapak kaki harimau, ular, atau beruang yang ia injak.
Tapi api didada nenekmu mencambuk binatang-binatang itu dan lari kegelab hutan.
Pisau kecilnya yang haus mengores nadi-nadi pohon tua.
Kulit-kulit menjadi lembut dan menyerah sampai tak satupun yang tersisa hinga surya mulai membakar.

Tangannya yang lusuh dan hitam memungut pahala yang menetes.
Hatinya yang iklas dan teduh menyelimuti kita sekeluarga.
Nak, senyum nenekmu masih lembut menimbang hasil hari ini.

Domo, 27 mei 2009

Minggu, 26 April 2009

jeruji



Jaka Tuak

Seperti biasanya kau bikin mabuk puisiku...
Berhari, berbulan, bertahun jeruji itu menikam hari-harimu.
Temanmu berganti dinding yang lusuh.
Pikiranmu lelah menghirup senja yang datang.
Malampu tak bisa tidur mendengar gelisahmu.
Gelap yang datang takut mengintai masa depanmu,
mungkin terlalu banyak yang kau hirup,
sampai hantupun tak mau mendekati.

Siang itu kembali merenggut ujung nafasmu.
Beribu tangis dan tertawa megantarmu kepelukan penjara.
Kau masih melewatinya dengan mabuk.
Butir ini masih menyenagimu untuk merusak puisiku.
Hari-hari akan kembali lama tampamu.
Para sipir itu pun tertawa karen aku lupa menjemput puisi ini
Maaf kali ini aku mungkin tidak lagi menjengukmu...

Lapas Batusangka, Maret 2009