Selasa, 09 Februari 2016

Sungai dan Rindu

Kau menyebar rindu dengan lembut. Pernyataan itu begitu singkat, tapi meraba lubuk hati. Pesan seperti angin yang berhembus, masuk dan mengetuk bisu. Memeluk hasrat dari jarak yang jauh. Seperti air merindukan sungai. Mengalir, merayap menghitung waktu Menunggu, lama, sepi dan gelap. Angin ikut membantu. Menggatar, deras dan lembut. Mengukir pinggir dengan kaki gelombang Akar-akar rawa menyentuh sesekali, dingin. Tak kuat melepas cengkraman riak. Mengusap, mengelus kuduk anak-anak sungai

Jumat, 16 Januari 2015

Membenci sepi

Menyimpan pagi ini. Disudut, tak terhenti. Menutup esok hari. Coba mengulang sepi. Membagi sedikit mimpi, sampai nafas mengerti. Kubawa lagi lari diri, mengikuti hati, mencari sepi. Jauh sekali, setinggi mentari, sampai mati. Sendiri melihat sepi. Kembali pagi, memutar hati. Sangat kubenci.

Selasa, 09 Desember 2014

Penikmat Tua

Menari dengan konsep ihsan. Telanjang pada kenyataan. Teori diumbar, menghina mimbar. Merunduk tak seperti padi. Mengulas ayat, menutup ikhlas. Penikmat tua, setua wajah. Perang dalam lembaga, mengusur norma. Membuang sahabat, membuka aurat. Sembunyi, mengunci sahadat. Banyak kulihat penikmat. Dikutuk dosa singkat. Merenggut dagu, seperti guru. Tua diujung laknat. Penikmat tua, hitam dan jahat. Berlari mengejar hasrat. Hidup menjadi duri. Tua menjadi tanah. Mati menjadi tulang. Memburu Nikmat, dilembaga ini.

Selasa, 05 Agustus 2014

Puisi Kemenangan

Kemenangan itu seperti sungai, deras dan meliuk. Kemenangan menghanyutkan semua amarah dan benci. Kemenangan menghibur telaga kecil yang menangisi kekalahan. Kemenangan mengaliri bahagia pada hati yang luka. Kemenangan menyambut hulu dengan suka. Kemenangan mendatangi hilir dengan sekuntum bunga. Kemenangan menghibur teluk dengan musik dan tari. Kemenangan ini kutitip dihatimu, untuk mengobati rindu. Pasia Nan Tigo, Enam Agustus 2014

Senin, 19 Mei 2014

Puisi Kuberi

Gadisku meminta puisi. Menyusun judul pada lembut matanya. Bibir memeluk kata demi kata. Paragraf mengurai dalam manis senyuman. Hitam alis menggaris lembar kalimat. Gaya yang enteng tak cukup mengisi bait. Aku hanya bisa memberi puisi. Gadisku, hanya bisa memeluk puisi. Kututup syair dengan cinta, rindu, getar dan mimpi. Puisi ini begitu sempurna di wajahnya.

Jumat, 21 Februari 2014

Menyesali Api

Kembali mengantar api. Mengumpul dari dua atau tiga bara yang lupa. Syetan apa yang mengiringi, tak tau. Panasnya mulai jelas ketika ujung diraup bibir. Asap begitu cepat keluar, karena takut, karena malu, diintip dari jendela yang ragu. Bumi yang sesak mengulas nafas, terengah, berputar tak jelas. Hilang terasa, menggenggam keras, lembut meraut, lama tak diraba. Menyesal membawa api, jalan menjadi pendek, waktu menjadi cepat. Air menyirami panasnya, tisu mengeringi asapnya, menyesal membawa api. Mereka menutup bara, semoga tidak menjadi api, tidak lain kali atau ingin menyesal lagi.

Selasa, 14 Januari 2014

Rindu yang tak siap...

Hati masih meraba-raba tatapmu dalam penantian. Rindu yang kau tebar, mengukir hasrat yang kuat pada waktu sempit. Pelukmu yang datang, tak hangat menutup malam disudut kota. Ruang menjadi gelisah, lampu-lampu yang redup tak siap menerangi nafas ini. Ingin kubendung senyummu yang makin pudar, ingin kupagar langkahmu yang tak sabar. Sayup nafasmu membelai subuh yang datang, disentuh detak jantungmu tak kuat membuka pagi. Melepas rindu yang tak siap, kau semakin jauh, seperti dulu yang hilang... Kayu Kalek, 15 Januari 2014