Senin, 17 November 2008

seok



Digilas Bumi


Hari memacu tubuh yang seok itu untuk suatu tanggung jawab dengan anak-anak didiknya yang sering miris dengan kemampuan fisiknya. Sedikit matahari juga memaksa langkah tua itu untuk lebih cepat menuju depan pintu. Tenaganya sedikit terkuras oleh hirupan grafitasi bumi. Langkah itu semakin gentar ketika menekan tingginya anak-anak jenjang. Tuntutannya agar setiap gedung ada lift, eskalator dan apa saja hingga dia cukup memejamkan mata, masih belum ada hasilnya, walaupun sumbangsihnya telah membuat semerbak dunia ini.

Siang ini sangat menebar kantuk. Beberapa pandangan, teori, asumsi, kritik seperti simponi klasik yang terdengar sayup-sayup. Berlahan mulai menekan lembut kornea hitam hingga menuai warna putih. Filsafat yang meluncur membelai lembut saraf-saraf dikepala dengan udara pendingin ruangan. Tapi suara-suara getar itu sesekali menampar pintu mimpi. Berdirinya yang sering dipaksa membuat lebih banyak duduk. Rambutnya yang dicat hitam tertipu alisnya yang putih. Suaranya yang keluar sering didorong nafatnya yang berat. Darahnya sering sedikit terguncang dengan simpati yang tidak ada lagi.

Senja yang mulai datang membuat dia begitu mengerti dunia ini. Komunitas waktu akan membayar mahal perubahan-perubahan yang terjadi. Akhirnya dia berguman ”Perjuangan kemajuan atau pembangunan atau modernisasi atau westernisasi seperti perulangan mesin waktu. Tinggal kita mau menyusunnya dimana agar tak juga lumpuh digilas bumi”, bulu kudukku sedikit berdiri.
Lubuk Kilangan, 15 Nopember 2008

Selasa, 28 Oktober 2008

ampun



Sahadat

Kepala ini memeluk beribu cinta dan membuangnya tanpa air mata. Sebagian otak yang tumbuh mereguk dahaga tanpa pernah mengisi raga dengan do’a. Darah yang hidup mengais surga tanpa mengingat dosa. Mimpi-mimpi berjalan menebar asap dan api diladang cinta. Lautan nista menumbuhi dusta mengalir ke ujung serakah. Hidup mulai terkapar menatap langkah anak durjana

Ketika gema takbir mengetuk dinding syawal, menimbun subuh dengan sahadat yang mulai koyak. Gaung iqstifar mengharap matahari membakar dosa untuk jiwa yang luka. Anpuni aku tuhan.

1 Syawal 1429 H

Selasa, 23 September 2008

segera




Pulang

Suaramu mulai meraba pelan dinding-dinding anak telingaku. Tetes kalimat berjatuhan begitu lembut mengalir mendekati titik-titik perasaan yang lama hilang. Paragraf-paragraf tersusun latah menari-nari diujung lidah mulut mungilmu. Sedikit rengekmu membuat anganku menghitung waktu yang tersisa. Susah kutiup kata yang keluar agar kau tak sedih dengan penantian ini. Susunannya pun sudah menyamai syair pujangga tua yang hidup dengan beribu cinta. Jari-jari kecil dan halus seperti meraba lembut ujung-ujung kulit rinduku. Matamu yang hitam bening melayangkan binar-binar ceria disekeliling otak kecilku. Igatanku melintas pada tawamu yang renyah dan membuat alismu selalu sedikit menekan bundar matamu, rona merah juga bermain-main disekitar lesung pipitmu.
Gelora ini mulai melanda sudut-sudut takbir cinta yang kunati. Rayuan yang kau ulang-ulang tentang petani yang pergi, sawah yang retak, semak yang hilang, tebu yang patah, ladang yang kering, dan angin yang tak lagi bertiup memacu rencana tidurku. Ingin rasanya kuntempuh gelap bumi, ingin rasanya kudaki hitam pelangi, ingin rasanya kubakar mentari untuk segera membuka pagi dan membawa segera pulang hati ini.


Padang Sarai, 22 Sept 2008

Senin, 15 September 2008

tak pasti


Dongeng untuk peladang
Kupinjam dendang untuk dongeng peladang. Begitu risih keluar dipunggung bukit nantikan hujan dari mata. Kebun yang sujud menunggu ladang menuai gerimis. Alang-alang mendekap petani dengan senja yang merah. Sawah lelah menanam kelabu yang singah. Pagar-pagar menutup dahaga semak-semak yang mencakar. Begitu resah menunggu sinar di ufuk mentari. Wajah langit miris ditiup mulut halilintar. Membuat mekar lumpuh dalam debu.


Kerbau letih membajak siang dengan luka sembilu. Mimpi terang hilang direnggut gelap gemuruh. Burung-burung menangisi lapar ditirai bayang orang-orang ladang, pulang ini hanya menutup janji, sarang yang ditinggal menunggu panas telapak dan lumpur yang hinggap. Hasrat terbawa dalam pagi sedikit sedih dirantai napsu. Lusuh menuai panen bibit surga yang tak pasti.




Gunuang Malintang, 13 Sept 2008


Senin, 18 Agustus 2008

murka



Penjelasan


Mungkin salah meraup duka yang jatuh dikelopak hati.
Panas terbuang hari membuat rasa memilih terik nafsu.
Dipunggung harap kaki-kaki menginjak pundak rindu.
Sebagian hasrat mengais cinta yang lupa perihnya waktu.
Mata-mata mengintip haru, selingkuhi nikmat kesempatan.
Kata-kata yang tersenyum tertimbun sorak dalam ruang bisu.

Diam memberi nikmat menganti waktu kosong seperti ritual tersebunyi.
Nafsu terbuang mulai tertanam dirahim usia yang mulai runtuh.
Gejolak yang tertindih ditelan jarak di ujung gelisah.
Takdir menutup murka membuat penjelasan ini sedikit aneh.


banyuasin, agus 2008

Senin, 11 Agustus 2008

ampera



Do'a

Senandung banyu merayu biduk kehulu Musi, kerudung perahupun menari dipucuk rawa. Hamparan hijau tertutup asap cerobong tongkang yang memacu jiwa, sibuk memagar tepi dengan desir halimun. Kaki-kaki dermaga mengendus riak dan sunyi angir semilir, menutup kelopak mata pemancing dipinggir dermaga tua.

Malam yang kaku ditemani lampu warna-warni, menerangi letih penjual dan suara pengamen dari pagi hari. Ketika langit menutup redup, impian budak mengharap doa ampera.

Palembang, 7 Agustus 2008

Minggu, 03 Agustus 2008

merindu



Senja yang hilang

Riak air menampar dinding perahu yang berlumut menekuk dayung-dayung kelasa. Capung-capung merah mengintai topi dan ujung kail pemancing, sesekali kakinya mengais lembut air muara yang hangat habis dipeluk bukit. Ujung-ujung sunset menyisir daun kelapa yang menari ditiup angin. Anak-anak sungai letih berjalan mengorek dahaga kaki-kaki teluk.Sayap-sayap camar centil menyambar ombak merebut hati pelangi. Pasir menyelimuti sisa pantai tersentuh telapak pemadu cinta.

Deru mesin kapal tua memutus punggung dermaga, dengan perkasa menarik jaring-jaring lusuh nelayan. Wajah-wajah merahpun berputar-putar dilantai geladak, tangan-tangannya yang kekar melecut udara membelah sungai, gemiricik anak-anak air naik menyusupi pori-pori waktu.

Begitu senja dipeluk sungai merindu malam yang tak mungkin datang esok hari.



Muaro Kasang, 31 Juli 2008

Jumat, 01 Agustus 2008

masih



hitam

subuh meliuk sukma
siang melukis raga
sore menggores asa
malam mengukir do’a

tapi, tubuh ini masih hitam
Setelah malam, 25 Juli 2008

Selasa, 15 Juli 2008

tabur






Kedatangan

Ragu kusentuh pada tinggi kotamu, dinginnya sedikit menusuk rindu akan senyum manis bibirmu. Pertemuan ini sedikit sempurna, kulit putihmu meraut siang dengan sinar mentari. Pipimu yang merona membakar simponi dengan noktah-noktah ceria. Kata-kata meronta hati disusun lembut bibir merahmu membuat mabuk tiga dimensi.

Tak kulihat air mata dari kisah sedihmu, kerudung putih yang kau suka menarik lembut jerit hatimu, sempurna kau redam resah jiwamu. Letih ibu mendulang subuh merekah tangis dalam mimpi-mimpi yang kau nanti.

Matahari yang kau tungggu akan muncul diufuk samudra. Sinarnya melukis ombak dengan buih mutiara. Cahayanya memeluk camar dengan butir-butir permata. Silaunya akan membias langit dengan merdu pelangi.

Kedatanganku bukan untuk cinta, tapi tetap kutabur bunga.



Bukittinggi, 8 Juli 2008

Jumat, 04 Juli 2008

bakar



Menunggu

Pagi ini Ibumu nenanak batu dengan air mata. Tolong jagan kau selingkuhi tungku itu, baranya akan menghangusi tangismu dengan isakan. Biarlah asapnya keluar mengabari pada tetangga dan negeri ini. Ibumu memang perkasa, ia meniupkan darah ke tungku agar adik-adikmu tetap menyusu.

Jerit siang akan meremuk nadi bibirmu yang begetar disentuh lalat. Susu yang tak lagi kau minum menetesi kerak nasi disenyumi lewat jendela. Langkah senja akan kutanam dengan sisa nafamu, agar purnama menciumi pinta yang kujeda dipenghujung malam.

Kapan kau bakar negeri ini Nak…


Padang Sarai, 3 Nopember 2007

Selasa, 01 Juli 2008

sampai

Nasehat

Panas, sesak, ribut dan sore yang mulai mencium malam Pasar Minggu. Langit-langit bus mendekap wajah gelap penumpang yang rindu tujuan. Sinar lampu jalanan menyilaui kata-kata yang tetulis debu kaca jendela. Lagu-lagu pengamen pun berpacu dengan nasehat ku yang mulai membelai pikiranmu.

Kau begitu beruntung, cinta yang begitu sempurna menjemputmu dari balik asap terali, Mabuk yang begitu berat menjemput anggun malu dihati. Sawah menunggu ladang-ladang retak dan semoga ilalang ini menjadi padi. Doa Ibu dipematang menyirami bibit-bibit layu dengan air mata. Selendang cinta menyemai udara dengan pelangi pagi hari.
Anganmu habis dimakan dosa yang tak terampuni. Letih ibu, ayah, tergulung letingan asap pembungkus malam. Waktu terlalu banyak menyetubuhi usia, hari-hari menjadi lumpuh tetampar rasa malu.

Aku terlalu banyak bicara, harapku mengores otak dan getar wajahmu. Sedikit senyummu ditetesi redup cahaya terlihat tak mengerti...
mmm...Bekasi sudah sampai teman…

Jakarta 21 Janurai 2007

Rabu, 11 Juni 2008

hasrat



Penganten

Pagi ini begitu banyak yang mengantar
Cinta, kasih, raga, jiwa dan hasrat yang mengebu
Debaran hati sedikit menyiksa dan mengolok-ngolok kelelakian
Hingga semangatpun tetap menyeret hasrat ini

Sebagian pengantar kelihatan ciut
Kelokan, bantuan dan pohon yang akarnya menjangkar ubun-ubun
Tapi hasrat ini semakin menusuk hati yang menggebu
Pedang, perisai dan rayuanpun mulai mengipas dahaga

Di arena sambutan begitu bergemuruh
Cinta, kasih, raga dan jiwa yang hampir layu,
bangkit dari hasrat-hasrat yang terkumpul
Membuat siang, senja, malam dan pagi berlutut pada bumi
... mohon jaga hasrat ini.
Durian Tinggi, 16 November 2000

Senin, 09 Juni 2008

jiwa


Sketsa Kedatangan

Subuah mulai dari tatap matamu
Menarik alis-alis yang sempurna
Dari kata-kata yang kuulangi
Ritme mu membentuk tarian-tarian

Dalam garis-gasris yang kau libatkan
Memaksa kata-kata dicandai
Memintal hati yang teraba
Hingga getarmu mengiris waktu

Misteri-misteri yang yang menidurkan
Menggoda sisa-sisa keinginanku
Sampai binar kulihat ragu
Dalam diam yang kau sambut

Tersenandung setiap langkah yang ditapaki
Membuat mataku tak mengerti
Seperti juga rumah ini menggelinjang
Kenapa mesti sunyi melaut

Telanjang sketsa itu kulukiskan
Ternikmati matamu dalam kelam
Melena kecemasan setiap wajah
Membuat kedatangan ini menjadi penjara
Padang, Desember 1999

lirik



Pestamu Merayu

Sebaiknya kutanya hari
Untuk lewat depan rumahmu
Seredup cahaya kerudung asap yang tersisa
Dinginnya kubawa pulang untuk sisa santaiku
Terintai liuk teras dari serambi yang kau buang
Gelangmu merangkul hati yang te-rayu
Menjangkar kain putih pintu kaca
Bekunya membelai rasa yang hilang

Kata-katamu menatap lidah mungil
Berapa kalimat menipu mimpi yang tertulis
Berapa teriak menembus hati-hati
Coba telanjang melihat cinta yang kau tunggu
Mungkin aku tak-kan kenal jalan pulang

Sepertinya matamu mengenalkan sedikit malam
Kabarkan pesta-pesta yang bertabur aroma
Sentuhkan juga sedikit bungga untuk gelisah tetangga
Sebagai pengantar gelas-gelas yang terakhir
Semoga esok lirik-ku tak lagi takut menulis lagu pada dinding pintu
Padang, Maret 1999

menyusu


Balada Bayi Sinting

Bayi-bayi yang menangisi cerita bangsa
Dengan senyum api dari mulut naganya
Melintasi aksi-aksi terpendam
Disenyumi bagai komedi penghianatan

Nama kami memang telah rusak
Dijalan-jalan, dilorong-lorong, dimana saja
Kami datang dalam kutukan orang-orang
Dari goa-goa kelam penuh dendam

Jangan lihat kami dengan kesal
Jangan bilang kami tukang onar
Kami memang sudah gila
Kami telan semua bahaya

Gemuruh suara dengan tangan mengudara
Sang bayi berkhayal mempesona
Mengaungi relief-relief tak berguna
Dengan bekas bara pijakannya

Kami akan tetap melangkah
dengan menjual
jiwa kami
hidup kami
tubuh kami
tapi, tidak iman kami
untuk kemenangan yang kami khayalkan

Loncatan-loncotan irama perlawan
Diludahi oleh simulut setan
Membius otak si bayi malang
Saat menyusu dan tidur pelan-pelan

Padang, Mei 1998

selimut


Asap Temanku

Mimpi-mimpi yang ditiduri sisa malam
Membuat langkah-langkah kehilangan hasrat
Menerawangi setiap asap yang dihembuskan
Hingga lantai-lantai itu mulai berputar

Perasaan menakutkan saat dada mulai sakit
Seperti perih, telananku memejam
Perasaan menakutkan, saat bibir mulai pecah
Keinginan ini begitu disesalkan

Asap-asap mulai menusuki jiwa
Membongkar hati dengan kata berserakan
Mumbuat malamku sangat mangantuk
Ingin rasanya mengahbisi dengan tidur

Sepertinya asap-asap itu mulai marah
Membuat kejatuhan ini begitu sempurna
Melukiskan goresan-goresan kotor
Dan gigilan jari yang mulai melemah

Seperti malam sebelumnya
Masalah ini belum terpecahkan
Hingga temanku menemukan asap yang sempurna
Saatnya kutarik selimut untuk menghabisi
sisa mimpiku..
Payakumbuh, Maret 1996

Minggu, 08 Juni 2008

senja

Kebaya Putih

Kebaya putih melirik kata
Ditulis pada cinta yang ditata
Dalam bunga indah benang kenangan

Kebaya putih menerawang hati
Memikat setiap mata yang terlena
Dengan serat emas sutra cinta

Kebaya putih tanpa selendang penutup raga
Kurajut senja untuk rindu yang terpendam
Pada sisa kain putihmu

Pariaman, Oktober 2008